Saturday, December 28, 2013

BUNDA UMY, BINTANG TERANG MUSIM DINGIN TAIWAN

Ketika ia membaca puisi “Senandung Tanah Rantau”, segenap hadirin di Aula Serbaguna Stasiun Kereta Api Taipei dipeluk rasa haru. Tak sedikit yang juga menitikan air mata. Mungkin tidak semua mengerti Bahasa Indonesia, namun Perempuan Berkerudung di atas pentas itu membacanya dengan sepenuh jiwa. Sehingga puisi indah itu berhasil menemukan ”ruh”nya.

Perempuan sederhana bernama Umi Sugiharti, adalah Buruh Migran Indonesia yang hari itu, Minggu 1 Desember 2013, menjelma menjadi bintang terang musim dingin Taiwan. Ia yang lebih dikenal dengan nama Bunda Umy berhasil memenangi Lomba Puisi TKA (Tenaga Kerja Asing) 2013. Ajang lomba ini diikuti oleh 4 negara, yaitu Indonesia, Vietnam, Philipina, dan Thailand. Bunda Umy berhasil mengungguli peserta lain, menjadi Juara 1, mengharumkan Indonesia.

Kantor Rekonstruksi Dan Pemberdayaan Tenaga Kerja Kota Taipei yang menyelenggarakan lomba ini juga mencetak puisi para juara menjadi buku yang diterjemahkan ke dalam 5 bahasa.

Banyak pekerja migran, baik dari Indonesia maupun negara lain yang curhat, mimpi, harapan, dan keluh kesahnya terwakili dalam puisi ”Senandung Tanah Rantau“ karya Bunda Umy.

Bravo, Bunda Umy!

SENANDUNG TANAH RANTAU

By. Umi Sugiharti

Seperti detak jam yang menghafal perjalanan
Panggilan hati riuh bernyanyi
Mengalir baitbait rindu untuk darah daging terkasih
Melantun merdu lafal sendu seiring denyut nadi
Dalam jejakku di Formosa

Kawan, tahukah kamu?
Dulu ... Keindahan tanah rantau ini memesonaku
Menatap, menyentuh, menghirup segar panoramanya
Adalah kisah nyata yang ingin kurasa
Namun, sudut hati kini menciut kecut
Menggapai tirai fatamorgana

Terali aturan memasung langkah
Mata Dewa menyelidik gerakku
Lincah raga berkalung kepasrahan
Meniti hari di istana pagar menjulang
Udara luar hanya mampu membelaiku lewat jendela
Dalam batas waktu tiga Desember

Ribuan kawan di tanah rantau
Hanya bisa kudengar nama, tanpa bisa menatap wajah
Bahkan sebersit kabar tentang mereka
Bagaikan sebuah jarum di tumpukan jerami

Kawan, dengarlah senandungku!
Menyatu dalan setiap harapan dan doa
Memohon pada Yang Maha Kuasa
Memaku ketabahan di dinding hati keimanan
Karena keluh bukan menjadi benteng diri
Di balik perjuangan selalu teguhkan keyakinan
Kita berjalan tidak sendirian
Jadikan diri menjadi sosok pahlawan sejati
Harumkan Pertiwi

Taipei City, 9 April 2013

Tuesday, December 24, 2013

MENGAPA LIBRARY FOR MOM LAYAK DIWUJUDKAN?

Hidup di lingkungan pedesaan, menjadi bagian dari komunitas pedesaan, sebagai seorang ibu, membuat saya bisa melihat dan merasakan dengan sangat jelas bagaimana rasanya hidup yang bersahaja, tenang, dan tidak terburu-buru seperti hidup di kota. Di sini jiwa saya lebih terpelihara, hubungan vertical saya dengan Sang Pencipta juga menjadi lebih terjaga.

Menjadi ibu berarti saya masuk juga dalam lingkungan pergaulan ibu-ibu. Saya senang dengan kebersamaan dan kesahajaan hidup mereka. Namun kemudian saya merasakan sesuatu yang seharusnya bisa diubah menjadi lebih baik ...

Ibu-ibu di pedesaan punya keterbatasan mengakses informasi dan ilmu pengetahuan. Televisi memang sudah ada, tapi apa yang bisa ibu-ibu lihat darinya tak lebih dari sekedar sinetron dan tayangan yang tidak bisa memberi tambahan pengetahuan. Lebih parah lagi, ibu-ibu ini tidak memiliki minat baca, sehingga sedikit koran dan buku yang masuk ke desa menjadi tidak berarti. Jangankan membaca seperti itu, memeriksa buku pelajaran sekolah anaknya pun mereka malas.

Lalu ketika sang anak mendapat kesulitan belajar karena pelajaran sekolah yang semakin berat, sebagian dari mereka yang memiliki uang berlebih akan memasukan anaknya ke tempat-tempat les. Tapi berapa banyak ibu yang berkelebihan seperti itu? Masyarakat di desa saya rata-rata adalah petani dan buruh yang sederhana.

Sebenarnya mereka ingin perubahan, sesuatu yang lebih baik untuk anak-anak mereka, bukan hanya sekedar sawah dan pekerjaan sebagai petani turun-temurun. Sayang sekali, mereka tidak tahu caranya, mereka tidak tahu harus bagaimana. Mereka sadar bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan itu penting, tapi mereka terbelenggu dengan pola pikir sederhana bahwa ilmu pengetahuan adalah sekolah, sekolah yang dilakoni anak-anaknya sekarang. Sehingga mereka yang sudah menjadi orang tua merasa terlambat untuk mengejar ilmu pengetahuan.

Berangkat dari menyaksikan hal ini, saya bermimpi, alangkah indahnya bila setiap ibu di desa ini suka membaca, sehingga ketika anak-anaknya kesulitan belajar maka dia bisa menjadi guru les privatnya. Elok nian bila ibu-ibu tidak lupa rumus-rumus matematika sehingga bisa menuntun anaknya menghitung luas dan volume tabung-kerucut-kubus. Atau membantu anaknya membaca peta, mengapresiasi karya sastra, dan menceritakan hikayat-hikayat. Atau juga bila tiba masa sawah tak lagi perlu tenaga mereka, karena ada masanya sawah ‘beristirahat’,alangkah lebih baik jika waktu luang yang mereka punya diisi dengan membuat berbagai kerajinan memanfaatkan bahan yang disediakan alam desa ini. Atau membuat berbagai penganan yang bernilai jual. Sehingga gantungan periuk belanga keluarga tidak hanya dari sawah saja. Apa jadinya kalau terjadi gagal panen karena cuaca yang tidak bisa mereka atur?

Maka saya terbangun dan sadar, bahwa mimpi saya akan menjadi nyata bila ada perpustakaan. Ya, PERPUSTAKAAN. Buku-buku yang akan memberi mereka banyak tambahan ilmu. Buku-buku yang akan mengingatkan mereka pada rumus dan berbagai pengetahuan untuk membantu anaknya belajar. Buku teknologi praktis yang akan mengajari mereka berbagai ketrampilan sederhana yang bisa mereka terapkan untuk menghasilkan tambahan pendapatan. Buku-buku motivasi yang akan memperbaiki mentalitas cukup-hanya-begini-saja menjadi ibu pengobar semangat anak-anaknya untuk memiliki cita-cita setinggi langit. Serta buku-buku islami yang akan menjaga mereka tetap merunduk takzim bersyukur dengan kesahajaan hidup di desa.

Inilah mimpi saya, mimpi seorang ibu dari desa. Maka saya juga yang akan berjuang mewujudkan mimpi membuka perpustakaan untuk para ibu. LIBRARY FOR MOM. Karena yang mereka butuhkan untuk maju adalah sebuah contoh perbuatan, sebuah pemicu yang menyadarkan mereka bahwa menimba ilmu tidak harus di sekolahan. Tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Dengan senang hati saya akan menyediakan sebagian bangunan rumah saya sebagai perpustakaan. Buku-buku yang saya punya pun akan saya pinjamkan. Bahkan bila minat baca masih tak ada, saya tidak keberatan menjemput bola berkeliling desa membawa buku dengan sepeda untuk dipinjam dan dibaca oleh ibu-ibu.

Namun tentu mimpi ini tak semudah kelihatannya untuk diwujudkan. Tentu sangat berat bila hanya saya seorang diri yang berjuang. Maka saya mengajak anda untuk melihat mimpi saya dan memohon dukungan untuk mewujudkannya. Saya masih perlu tambahan buku banyak sekali. Mari kita yakini bahwa hal ini adalah suatu kebaikan, sesuatu yang akan bermanfaat bagi orang banyak. Dari sebuah kebaikan akan selalu lahir kebaikan yang lain, juga keajaiban yang mungkin tidak pernah kita duga seperti apa bentuknya.

Monday, December 23, 2013

MENGAPA PUSTAKA UNTUK IBU?

Menjejalkan ilmu pengetahuan pada otak yang masih polos, yang belum terlalu banyak memikirkan beban hidup tentu akan lebih mudah katimbang pada otak yang sudah terlalu penuh dan sibuk memikirkan banyak hal. Maka kegiatan membaca untuk mendapatkan ilmu akan lebih efektif bila dilakukan oleh anak-anak ketimbang oleh ibu-ibu.

Lalu mengapa perpustakaan ini (terutama) untuk para ibu? Bukankah akan lebih mengena dan banyak pengunjungnya bila dibuka untuk anak-anak?

Library For Mom adalah perpustakaan gratis untuk umum. Siapapun boleh membaca dan meminjam buku di sini. Tapi, memang dedikasikan untuk para ibu. Anak-anak atau bapak-bapak yang ingin meminjam, boleh saja. Intinya, tidak hanya ibu-ibu yang bisa menimba ilmu di Library For Mom.

Mengapa ibu-ibu begitu istimewa?
Karena peran ibu memang istimewa, dan akan makin istimewa bila setiap ibu menjalankan peran itu dengan sempurna. 99% ibu-ibu di desa ini mengurus anak dan rumahnya sendiri, bukan melimpahkannya pada pembantu. Menjadi istri dan ibu. Ini sudah otomatis, tidak perlu diuraikan. Malah ada yang berperan ganda menjadi ibu sekaligus ayah (kepala rumah tangga) dalam mencari nafkah. Mendidik anak-anak di rumah. Nah, peran inilah yang tidak seharusnya diambil oleh orang lain. Biarlah mereka sendiri yang mengajari anak-anak banyak hal, termasuk pendalaman ilmu pengetahuan dari sekolah. Di sinilah Library For Mom akan membantu. Library menyediakan bacaan yang akan memperkaya pengetahuan para ibu sehingga bisa menjadi ibu yang cerdas, yang hebat, yang bisa selalu menjadi pahlawan bagi anak-anaknya.

Anak-anak tentu akan merasa bangga sekali bila ibunya selalu bisa diandalkan. Soal kasih sayang, seorang ibu sudah tidak diragukan. Tentu akan lebih indah dikenang sampai dewasa bila sang ibu selain menyayanginya sepenuh hati, juga selalu menjadi super hero yang siap membantu anak-anaknya setiap saat.

Maka Library For Mom adalah tetap perpustakaan untuk para ibu. Ibu-ibu yang diharapkan dapat mengambil ilmu dari buku-bukunya, lalu menularkannya pada anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Mungkin ilmu yang ditularkan itu tidak lebih banyak dari yang anak-anak dapat di sekolah, tapi ilmu dari ibu pasti selalu disertai cinta. Energi dari tenaga ajaib cinta inilah yang akan mempererat simpul batin antara ibu dan anak. Dan inilah yang akan anak-anak bawa sampai dewasa menjadi sebuah kenangan yang takkan terlupakan.

Library For Mom ingin membuat setiap ibu menjadi cerdas untuk mendidik anak menjadi juara.

#Masih bersambung ...

Saturday, December 21, 2013

GARA-GARA IBUNDA

Ini adalah cerita saya.

Sekarang saya menjadi ibu, dan berusaha benar-benar menjadi ibu super hero untuk anak-anak saya. Maka saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Sikap saya ini adalah tunas yang tumbuh dari benih parenting yang diterapkan ibunda saya dulu pada saya. Saya bisa berhitung, bisa membaca, bisa mengerti bahasa Inggris, bisa berdoa, dan banyak kebisaan lainnya yang saya kuasai sejak kecil semua berawal dan pertama kali saya dapatkan dari ibunda. Beliau adalah Super Mom.

Raga kecil saya yang sakit-sakitan dirawat dengan sangat telaten oleh ibunda. Saya bisa membaca pada usia dini, karena ibunda yang mengajari saya tanpa saya merasa sedang belajar. Bahasa Inggris saya terasah karena ibunda yang pertama kali mengajari saya dengan sering membacakan buku dongeng berbahasa Inggris, mengajak saya menerjemahkan teks lagu-lagu barat, sampai akhirnya saya menemukan keasyikan mempelajarinya sendiri. Rumus-rumus sederhana matematika masih bisa saya ingat diluar kepala sampai saat ini, karena dulu ketika sekolah saya memang jagonya. Itu karena ibunda yang menciptakan jembatan keledai untuk saya agar mudah mengingat rumus-rumus itu. Saya bisa merenda, menjahit, menyulam, origami, merawat anggrek, memasak, sampai menyambung kabel listrik, itu karena ibunda yang mengajarkannya pertama kali. Ibunda yang pertama kali memberitahu tentang menstruasi, tentang kehamilan, dan tentang merawat tubuh sebagai perempuan, sehinga saya tidak sempat mendapat pengetahuan yang salah tentang hal-hal itu.

Ketika saya dewasa, menjelang menjadi ibu ketika saya hamil, secara otomatis saya merujuk ibunda. Ilmu beliau tentang kehamilan dan melahirkan membawa saya bisa melewati kehamilan dan proses melahirkan dengan sangat tenang. Ibunda yang menerima bayi merah penuh darah dalam proses persalinan kedua anak saya. Ibunda yang memandikan anak-anak saya pertama kali, menuntun saya yang tergagap-gagap mengganti popok, sampai saya mahir dan langsung bisa melakukannya sendiri pada anak kedua.

Ibunda saya adalah perempuan desa, hanya lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Puteri). Namun beliau adalah pribadi yang selalu ingin belajar, selalu ingin maju dan bertambah pintar setiap hari. Ibunda berasal dari keluarga sederhana, maka beliau sangat rendah hati. Semua ilmu yang beliau punya yang didapatkannya dari berbagai hal termasuk koran dan majalah bekas yang ibunda pakai sebagai bungkus dagangan di pasar, ditansfer kepada anak-anaknya dengan penuh cinta. Setiap hari adalah kerja keras, belajar dan khusuk ibadah.

Seperti semua ibu di dunia ini, cintanya sungguh seluas samudra. Maka sampai detik ini, ilmu, contoh sikap, dan nilai-nilai moral tetap kuat melekat dalam jiwa dan hati saya.Saya sangat bangga dengan ibunda. Dan saya ingin kelak anak-anak saya juga demikian terhadap saya. Inilah yang ingin saya tularkan pada ibu-ibu yang lain. Maka Library For Mom adalah untuk para ibu. Dari sana ibu-ibu bisa belajar dan menambah ilmu, sehingga bisa menjadi ibu yang cerdas, ibu yang selalu bisa diandalkan oleh anaknya. Library For Mom akan mendampingi para ibu melakoni peran sebagai ibu yang hebat dengan sempurna.

Apa itu, Library For Mom?
Bersambung ...

Thursday, December 19, 2013

TARIAN SEKUNTUM KAMBOJA

Sehelai daun kamboja melayang bersama sekuntum bunganya yang berputar seperti baling-baling. Kemudian jatuh ke tanah...

Aku menyukai bunga kamboja. Walaupun orang menyebutnya bunga kematian, tapi aku tetap menyukainya walaupun aku belum ingin mati. Ada suasana magis yang selalu aku rasakan ketika kupetik sekuntum, dan kusunting di sela telingaku. Semerbaknya mengalunkan aroma khayangan. Apalagi ketika Made yang menyuntingkannya. Senyum lembut yang terbingkai oleh rahang kokohnya membuatku selalu merasa aman bila bersamanya.

Made, kekasih hatiku. Seorang pemuda pendiam yang lebih senang mengutak-atik kameranya dari pada melakukan kegiatan lainnya. Ia memang seorang fotografer yang masih tetap sekolah fotografi di Denpasar sambil menjadi tukang foto di studio kecil di tepi danau Beratan.Aku sendiri masih duduk di tahun terakhir sebuah SMU di Ulun Danu. Aku tinggal di tepi danau Beratan bersama nenek yang mengelola sebuah penginapan kecil. Orang tuaku ada di Denpasar. Dan aku boleh berbangga dengan kemampuanku menari. Seminggu sekali, yaitu di malam minggu, aku boleh menunjukan kemampuanku menari pada tamu-kebanyakan bule- yang menginap di penginapan nenek. Tiap malam minggu, kecuali bila musim ujian tiba, aku selalu jadi bintang diantara riuhnya tepukan mereka. Senyumku selalu terkembang. Bahagia sekali rasanya saat itu. Apalagi ketika membayangkan bahwa tepukan itu kudapatkan di sebuah negeri bersalju yang jauh dari dusun di tepian Beratan ini.

”Nanti kalau sudah lulus, kamu boleh pulang ke Denpasar, dan kamu harus kuliah di jurusan seni tari, agar cita-citamu menari di negeri bersalju terkabul,” Kata nenek ketika aku mulai memasuki ujian akhir.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Nenek membelai rambut panjangku, dan menyuntingkan sekuntum kamboja di telingaku.

****

Selesai ujian, aku seperti ’mengamuk’. Tiga minggu absen menari membuatku terlalu merindukan tepukan riuh tamu-tamu nenek itu. Aku menari tiap malam! Dan penginapan nenek jadi lebih banyak pengunjungnya. Ayahku sesekali berkunjung dan selalu memberi tepukan paling keras seusai aku menari.

Made juga menyaksikan penampilanku tiap malam. Kilatan cahaya blitz dari kameranya selalu menembakku setiap waktu. Dulu Made bilang, aku selalu jadi inspirasinya dalam memotret. Sering sekali aku disuruhnya menjadi model gratisan untuk eksperimen foto-fotonya. Dan hasil foto-foto itu selalu diserahkannya padaku, sebelum akhirnya dia memilih beberapa yang bagus untuk dicetak ganda, dan dipajang salah satunya di studio miliknya.

Ah, gara-gara Made, wajahku jadi dikenal banyak orang...

Dan selain Ayah dan Made, ada seorang turis Jepang yang menjadi penonton setiaku selama enam hari. Dia adalah Mr. Yamamori. Dia selalu duduk di ujung belakang, di kursi bar yang tinggi. Dan ketika tarianku usai, dia selalu menyempatkan diri mengejarku masuk ke kamar rias, hanya sekedar untuk menyalamiku.

”Siapa dia, Luh?” Tanya Made dengan nada cemburu.

Aku tersenyum.
”Hanya turis biasa,” Sahutku santai.

”Perhatian banget dia sama kamu, sih? Naksir kamu kali, Luh...”

”Ah. Enggak. Kemarin malam dia nawarin aku, ingin ikut ke Jepang apa enggak. Nanti aku bisa menari di hotelnya,”
”Trus kamu jawab apa?”

”Aku nggak jawab. Bahsa Inggrisku belum lancar,”

”Tapi kamu kepingin ke sana?”

Aku menunduk.
”Iya,” Jawabku pelan.

”Kamu teruskan kuliah saja dulu. Bekali dirimu dengan ilmu, hidup di luar negeri itu berat untuk gadis semuda kamu. Aku sih mendukung kalau memang kamu sudah siap. Tapi kalau sekarang, sebaiknya kamu jangan pergi, Luh...”

Aku terdiam. Setelah itu aku bergegas merapikan kainku. Aku harus menari lagi. Suara gamelan itu sudah memanggilku.

Aku tersenyum ketika Made menyuntingkan sekuntum kamboja di telinga kiriku.

Ketika menari, kulihat Mr. Yamamori berbincang dengan ayahku. Entah apa yang dibincangkan mereka, tapi dalam hatiku aku berharap, Mr. Yamamori membicarakan tawarannya padaku kemarin. Impianku sudah melambung tinggi ke Jepang, menari di hotel besar milik Mr. Yamamori...Dan mimpi ini membuatku tambah bersemangat menari.

******

Terima kasih ya, Tuhan! Impianku jadi nyata. Ayahku sendiri yang menyampaikan kabar gembira ini. Aku akan pergi ke Jepang! Dan aku tidak sendiri, ada satu penari dari Denpasar yang menyertaiku juga. Dia penari senior, dan ayahku kenal baik dengannya. Karena itulah ayah mengijinkan aku pergi.

Hanya nenek dan Made yang keberatan. Nenek menangis ketika kusampaikan kabar ini. Tentu beliau merasa kehilangan.

”Jegeg, kamu masih sangat muda. Hidup di rantau itu berat sekali...nenek kuatir,” Rintih nenek.

”Luh akan jaga diri, Nek. Lagipula Luh khan nggak sendiri. Kadek Sukasti akan menemani Luh,” Kataku sambil memeluk nenek.

Sedangkan Made melakukan protes dalam diamnya. Tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan, apalagi kuntum bunga yang disuntingkan di telingaku. Ah, aku jadi merasa kesal. Kenapa sih, Made malah menghalangi cita-citaku menjadi penari yang bisa melalang buana? Akhirnya aku bersikap diam juga padanya.

********

Osaka adalah kota tua yang cantik. Geliat teknologi tak memudarkan eksotisme memori yang tersimpan dalam kesahajaan gedung-gedung tuanya.

Aku sudah mulai menari di hotel Mr. Yamamori. Hotel yang lumayan besar. Sambutan tamu di sini lumayan, walaupun bila dibandingkan dengan di penginapan nenek di tepi Beratan, jauh lebih sepi. Aku menari dengan iringan suara gamelan dari perangkat audio, bukan gamelan hidup seperti di Bali.

Setelah sebulan, aku sudah mulai bosan menari dengan cara seperti ini. Aku merindukan gamelan hidup yang kadang ditingkahi celoteh nayaga. Aku merindukan nenek, ibu, ayah, Made...Aku ingin pulang....Hidupku sepi di sini. Kadek Sukasti kerap tak pulang ke kamar kami di salah satu kamar hotel Mr. Yamamori. Dia harus menari di lain tempat pula. Kadang bahkan sampai ke Kyoto, atau ke Kobe.

Satu-satunya hiburanku di sini hanyalah sebatang pohon kamboja Jepang yang tumbuh di tepi kolam renang di belakang hotel. Bunga kecilnya yang berwarna merah jambu sedikit bisa menggantikan kerinduanku pada kambojaku yang putih dan lebar. Semerbaknya juga berbeda.
Berbicara melalui telepon dengan keluargaku hanya membuat rinduku semakin tebal saja. Akhirnya kupilih mengirimkan kartu pos dan surat elektronik saja pada mereka. Made kukirimi sebuah kartu pos yang bergambar kamera Nikon. Mungkin dengan seperti ini, aku bisa meminta maaf padanya atas kelakuanku yang keras kepala ketika akan berangkat ke sini.

Di bulan kedua, kami, aku dan Kadek Sukasti, melakukan perjalanan panjang dari Osaka, ke Kyoto kemudian berlanjut ke Nagoya untuk menari. Dan ternyata ini harus berlanjut lagi ke Yokohama, dan akhirnya ke Tokyo.
Di Tokyo inilah kami diam untuk waktu yang lama. Menari untuk satu hotel besar, tapi pengunjungnya tak memberikan sambutan yang riuh pada kami. Bahkan ketika menyaksikan kami menari, kebanyakan dari mereka malah asik berbincang dengan rekan, atau mengutak-atik multimedia yang mereka genggam.Tokyo kota yang amat sibuk. Semuanya berjalan amat cepat, kecuali hari-hariku yang terasa amat lambat. Sebulan di Tokyo membuatku amat bosan. Kadek Sukasti kerap mengajakku keluar, tapi aku tak suka hiruk pikuk kota yang bising. Aku jadi rindu suasana tepian danau Beratan yang hening. Aku rindu bunga kamboja, aku rindu pada nenek, ayah, ibu...aku rindu pada Made.

Kesepian ini tambah senyap ditengah bising kota yang kudengar dari kamarku dilantai 16, karena Kadek Sukasti selalu keluar malam hari seusai menari. Aku sendirian.Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon nenek di Indonesia.

”Nenek....Luh rindu. Luh ingin pulang, Nek...” Isakku sendiri pada dering telepon yang tak terjawab.

Kudengar kunci pintu seperti dibuka dari luar. Ah, itu mungkin Kadek Sukasti yang baru pulang. Aku biarkan saja, dan aku tetap tenggelam dalam tangisku.

”Kamu menangis?”

Suara laki-laki!!!

Ah, ini Mr. Yamamori. Cepat-cepat kuseka airmataku, dan duduk menunduk di hadapannya. Mr. Yamamori memegang pundakku dalam diam.

”Aku ingin pulang,” Kataku terbata-bata.Satu lagi airmataku jatuh...

”Kamu akan segera pulang,” Jawabnya.

Sejenak aku ingin tersenyum. Tapi kemudian keinginan itu sirna ketika kurasakan tangan Mr. Yamamori mulai meraba wajah, leher, pundak...dan turun ke dadaku.

Aku tersentak dan berontak. Mr. Yamamori mulai kurang ajar padaku! Aku melenting mundur, tapi Mr. Yamamori mencengkeram lengan kecilku dengan keras. Dia mulai menciumi wajahku, mendekap tubuhku dengan paksa, dan akhirnya menghempaskan aku di atas tempat tidur.

Aku berusaha berontak dan berteriak. Namun kekuatanku tak seberapa dibanding kekuatan Mr. Yamamori yang sudah kemasukan setan. Entah berapa tamparan mendarat di pipiku. Dengan sisa-sisa kekuatan kuraih lampu duduk di meja sebelah tempat tidur. Kuhantamkan ke kepalanya. Mr. Yamamori berteriak kesakitan, kepalanya berdarah. Nah, inilah kesempatanku untuk lari...Terseok-seok aku beranjak ke arah jendela. Kubuka kacanya, dan akhirnya aku kabur dari situ...

*****

Aku benar-benar pulang! Bahagia rasanya membayangkan pertemuanku dengan orang-orang tercinta. Nenek, ayah, ibu, dan Made tentu saja. Pasti mereka sudah menungguku di Bandara, siap memeluk dan menciumiku. Ah...aku benar-benar merindukan mereka.

Aku merindukan danau Beratan, kelopak dan semerbak kamboja, dan juga celotehan nayaga yang mengiringi aku menari dengan gamelan hidup.
Bandara riuh ketika pesawatku mendarat. Lorong demi lorong kulewati, sampai akhirnya aku melihat nenek, ayah, ibu dan Made menungguku.

”Neneeeek....”Aku berteriak kegirangan. Aku berlari menyongsong mereka. Ah, langkahku begitu ringan seperti melayang.

Kuserukan nama ibu dan ayah juga. Nama Made kubisikan saja, aku malu pada orang tuaku...Tapi...Hey, mengapa mereka tak menyambutku yang berlari dengan tangan terentang? Mengapa mereka tetap terdiam bagai patung? Nenek? Ibu? Mengapa mereka menangis? Kulihat ayah dan Made tetap terdiam tanpa tangis, tapi kulihat kedukaan mendalam di wajah keduanya.

Aku jadi heran. Sampai aku berdiri di antara mereka, mereka tetap terdiam. Mereka tak mempedulikan kehadiranku yang sarat rindu. Hmm...siapa yang mereka tunggu?

Akhirnya mereka berlari menyongsong ke arah pintu keluar. Tangis ibu dan nenek meledak keras. Ayah bahkan sekarang ikut-ikutan tersedu. Made tampak masih diam terpaku, tapi dua butir mutiara jatuh dari matanya. Semuanya menjadi jelas ketika sebuah peti mati didorong keluar oleh seorang petugas...

Pelan kulihat tubuhku...yang ternyata terawang tembus cahaya...Orang-orang menabrakku, tapi aku tak merasakannya. Akupun mampu menembus pandanganku ke dalam peti mati yang mereka peluk dalam tangis. Aku melihat jasadku tebujur kaku di sana...........

Sekarang aku mampu mengingat semua yang terjadi sebelum ini semua. Ketika Mr. Yamamori akan memperkosaku, dan aku punya kesempatan untuk lari, aku lupa kalau aku ada di lantai 16. Ketika kulompati jendela, tubuhku melayang jatuh seperti sebuah vas yang terhempas ke jalan beraspal...pecah berantakan...

Senja terasa amat dingin ketika jasadku dibawa pulang. Tak ada lagi kata-kata keluar dari mulut mereka. Akupun tak sanggup membuka mulutku, apalagi menceritakan semua pengalaman selama di Jepang. Diam, dan sunyi...

Namun tidak semua kebahagiaanku lenyap. Masih ada setitik bahagia ketika kulihat sekuntum kamboja terselip di antara jemari Made. Ah, itu pasti bunga yang seharusnya akan disuntingkan di telingaku.

Aku menyukai bunga kamboja. Walaupun orang menyebutnya bunga kematian, tapi aku tetap menyukainya walaupun aku belum ingin mati.

*******


#Cerpen ini telah dimuat di majalah TIM International, Taiwan, edisi Desember 2013